Artikel Dunia Pendidikan

SangGuru Resume (Siswa Malas: Hierarki, Ritual, dan Ogah Belajar di Kalangan Siswa Sekolah Dasar di Yogyakarta)

RESUME

SISWA MALAS: HIERARKI, RITUAL DAN OGAH BELAJAR DI KALANGAN SISWA SEKOLAH DASAR DI YOGYAKARTA*

(*Skripsi Dyah Ayu Kusumaningrum, Antropologi UGM, 2004)

belajar-mengajar di dalam kelas dalam bentuk penyampaian mata pelajaran dan bidang studi yang telah disusun sebelumnya. Akan tetapi beberapa anak cenderung melupakan subjek-subjek yang dipelajari melalui bidang-bidang studi dalam kurun waktu tertentu. Murid menjadi lebih sering melaksanakan acara lain di luar subjek yang disampaikan oleh guru. Entah mengobrol, menggambar atau melamun, yang kemudian muncul konflik di dalam kelas sebagai respon dari tidak adanya integrasi sebuah proses berguru mengajar.


Ada beberapa alasan yang disimpulkan oleh Dewey mengenai mengapa anak malas belajar, yaitu: Pertama, materi latih yang diterima bawah umur sepenuhnya yaitu formal dan simbolik. Bidang-bidang studi yaitu sebuah lambang yang ditempelkan dari luar tanpa adanya proses pendahuluan terlebih dahulu. Pelajaran itu tersusun tiba-tiba; tanpa pendahuluan; dalam benak si anak yang sebelumnya tidak pernah menempati posisi penting dalam kehidupan anak. Kedua, bentuk pengajaran yang tejadi yaitu tidak adanya motivasi namun pelajaran pribadi disuapkan kepada anak dalam bentuk pelajaran yang mesti dimengerti. Ketiga, anak dituntut untuk selalu mengingat materi pelajaran yang telah dikemas sebelumnya oleh guru dalam bentuk siap pakai. Sehingga kondisi yang dialami siswa bergotong-royong yaitu kejenuhan karena beragam tuntutan yang ada.

Sementara Freire memandang bahwa belajar di sekolah yaitu sebuah proses penyampaian informasi yang harus ditelan murid, diingat dan kemudian dihafalkan. Di dalam proses sekolah anak dipaksa untuk mengidentifikasi diri menyerupai gurunya sebagai prototip insan yang harus digugu dan ditiru. Menurutnya, sekolah juga jadi pelanggeng kekuasaan, sekolah bertugas untuk melaksanakan reproduksi ideologis kelas mayoritas untuk memelihara kekuasaan sebuah rezim, karena itu setiap penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar sekalipun selalu bernuansa politis. Anak-anak yaitu salah satu korban dari ambisi politik kelompok dominan, mereka disuguhi informasi yang benar menurut rezim yang sedang berkuasa, besoknya lagi atau entah kapan dikala penguasa itu berganti mereka harus mendapatkan informasi yang berbeda pula dari sebelumnya. Ketika kemudian pertanyaan mengapa anak malas belajar, Freire menjelaskannya karena sekolah membuat bawah umur harus menelan informasi yang disampaikan oleh penguasa melalui guru di sekolahnya dan menuruti apa yang dikatakannya.

Namun, melalui penelitian yang dilakukan di salah satu Sekolah Dasar Negeri di Yogyakarta ini, peneliti mengemukakan pandangan yang berbeda terkait kemalasan siswa dalam belajar. Peneliti menunjukkan pemahaman bahwa pada dasarnya tidak jarang bawah umur tetap berfikir bahwa pelajaran-pelajaran itu mereka butuhkan, tanpa ada tekanan dari orangtua dan guru. Kemalasan siswa disebabkan karena sekolah, murid, guru, orang bau tanah dan seluruh elemen di dalamnya terkukung oleh hierarki sekolah dan dikala masuk di dalamnya mereka harus menjadi bagiannya menyerupai sesuatu yang menjadi terkodrat dan otomatis.

Pada dasarnya hierarki merupakan jaringan dari relasi dan posisi atas-bawah. Hierarki di sekolah membentuk relasi menguasai-dikuasai, memerintah-diperintah, memberi amanat-menjalankan amanat, dan superordinat-sub ordinat. Hal ini tergambar melalui kepala sekolah, guru dan siswa. Dalam sebuah relasi posisi dalam struktur hierarki selalu dipenuhi oleh ritual untuk menunjukkan hierarki. Hierarki ini menimbulkan munculnya tingkat otoritas yang berlainan dari masing-masing posisi. Murid yang menempati posisi paling bawah tidak memiliki otoritas sedikit pun dalam menentukan apa yang terjadi di dalam sekolah. Hierarki di sekolah yang sangat rumit membuat murid, guru, dan orang bau tanah semakin terperangkap di dalamnya. Hubungan atas-bawah di dalam sekolah secara otomatis memunculkan ritual dalam bentuk aturan berperilaku. Tanpa adanya ritual, hierarki tidak akan pernah dapat berfungsi apapun. Ritual di dalam jaringan hierarki mengatur perilaku seseorang atau kelompok berdasarkan kehendak hierarki.

Hierarki di sekolah akan terlihat dikala apa pun diritualkan, mulai dari memasuki pintu hingga berbicara dengan guru juga harus melalui ritual. Ritual bukan hanya sebagai bentuk upacara dengan urutan kegiatan, namun cara seorang berperilaku terhadap orang lain dalam sebuah lembaga yang hierarkis yaitu ritual. Ritual ini begitu membosankan dan menjemukan dikala hampir setiap jam mereka menjalani dan melaluinya. Seperti perilaku antara guru dan siswa yang terjadi di dalam kelas. Peran seorang guru yaitu mengajar dan peran seorang murid yaitu belajar. Tugas seorang guru memberi pertanyaan dan peran seorang murid menjawab pertanyaan. Posisi ini menyerupai telah terstruktur ke dalam sebuah organisasi berjulukan sekolah, sehingga relasi antara guru dan murid hanya merupakan sebuah relasi kerja. Guru menginginkan bawah umur menyalin dan mencontoh apa yang ia kerjakan dan ia lakukan. Karena profesi dan posisi dalam hierarki di sekolah, maka guru diberi peran memberikan mata pelajaran, memberi sangsi kepada murid yang melanggar aturan, memberi nilai kepada hasil pekerjaan murid dan membuat bawah umur menjadi disiplin.

Dalam keseharian di dalam kelas guru akan menilai “kecerdasan” murid dari perilaku murid mendapatkan mata pelajaran dan menjawan pertanyaan guru. Akan tetapi kebanyakan murid lebih senang ‘diam’ dan didongengi oleh gurunya wacana hal-hal yang mereka belum tahu sebelumnya. Sementara guru menginginkan murid-muridnya berguru dengan baik, dengan duduk tenang, mengerjakan soal dan menghafal pelajaran. Seperti sesuatu yang membudaya yang berlaku di dalam hampir setiap ruang kelas. Proses yang terjadi di dalam ruang kelas menyerupai rutinitas yang berlangsung jam demi jam, hari demi hari dan tahun demi tahun.

Karena ritual yang ada di dalam kelas, kemudian memunculkan hierarki yang ditunjukkan melalui nilai dan peringkat murid. Nilai dan peringkat akan menentukan posisi murid di dalam kelas dan persepsi guru terhadap posisi ini. Posisi oposisi; si pintar> <si bodoh, si alim><si jahil, si manut>si ngeyel; di dalam kelas menentukan sterotip dan cara guru memperlakukan murid-muridnya dan posisi atas berperilaku pada posisi bawah. Sterotip dan perilaku guru terhadap hierarki yang terbentuk tersebut yang kemudian semakin memperjelas hierarki yang terbentuk di dalam kelas.

Sekolah sebagai lembaga hierarkis yang konkret memberi peluang yang amat besar kepada bawah umur untuk malas belajar. Di sekolah semua hal terstruktur dan teroganisir, terkotak dan tergaris dalam aturan dan ketetapan. Anak selalu dituntut, diharuskan, dihadapkan hanya pada pilihan-pilihan yang masing-masing mempunyai konsekuensi yang merugikan dan diminta untuk patuh serta bertindak dalam sebuah kerangka hierarki. Jika posisi si anak berada di bawah maka mereka harus berlaku sesuai dengan kehendak orang yang berada di atasnya.

Ritual yang dilakukan berulang-ulang dan berpola sama akan mengatur perilaku anggota sekolah, mengharuskan tetap mendapatkan mata pelajaran yang tidak disukai, mengerjakan soal ulangan yang sulit, mendapatkan raport sebagai hakim atas dirinya, mengikuti lamanya upacara bendera dan acara lain yang dilaksanakan dengan kondisi dan pola yang sama. Akibatnya dikala si anak telah kenyang dengan semua yang didapat di sekolah, rumah menjadi kawasan pelampiasan kebebasan dengan berusaha menghindarkan diri dari mata pelajaran. Kemalasan anak untuk berguru terjadi dikala si anak merasa kenyang dengan semua yang dilakukan sekolah dalam kotak-kotak dan garis yang panjang. Imajinasi mereka menjadi terbatas karena banyaknya ritual yang harus dijalankan di sekolah dalam kerangka hierarki.

Keinginan dan kemauan murid akan menjadi kuncup sebuah kemajuan pesat dikala hierarki yang terdapat di sekolah lebih memberi banyak ruang. Hierarki yang longgar akan memberi kesempatan murid untuk dapat bernafas dan berimajinasi dengan baik. Longgar bukan berarti tidak ada dan lepas begitu saja, namun ruang yang luas lebih memberi kesempatan bawah umur untuk bergerak leluasa dan berkembang sesuai dengan usia dan kemampuannya. Sementara ruang yang sempit akan menahan gerak dan imajinasinya.  
0 Komentar untuk "SangGuru Resume (Siswa Malas: Hierarki, Ritual, dan Ogah Belajar di Kalangan Siswa Sekolah Dasar di Yogyakarta)"

Back To Top