Seorang guru berusia paruh baya mengendarai motornya dengan kecepatan rendah. Membelok memasuki gerbang sekolah. Sejenak ia tertegun usai memarkir motor. Masih duduk di jok motor. Memperhatikan suasana di halaman depan gedung sekolah. Mendadak terburat guratan murung di hati guru yang sudah dua puluh tahun lebih mengabdi di sekolah itu.
Ilustrasi gambar (Ropi'u/matrapendidikan.com)
“Corona, Corona…!” keluh guru yang juga Wakil kepala Sekolah itu membatin. Makhluk mikroorganisme yang berjulukan Corona itu telah menciptakan sekolah seperti menjadi sepi, mati. Warga sekolah dihentikan untuk tidak tiba kesekolah semenjak beberapa hari lalu.
Sejenak guru Matematika itu menarik nafas. Kemudian ia melangkah menuju gedung berguru yang terkunci erat. Berjalan menyusuri koridor kelas. Pada satu ruang kelas ia berhenti. Melongok ke dalam ruangan di balik beling jendela.
Hatinya semakin trenyuh.
Kemudian mendekati pohon jambu air yang tumbuh subur dan berbuah di samping gedung kantor sekolah. Tak puas hingga disini ia melangkahkan kaki menuju penggalan belakang gedung sekolah.
Menatap nanar hamparan daun ubi kayu yang tumbuh subur dan hijau. Kemudian menggerakkan pandangan pada rumpun pisang dan batang rambutan.
Di areal perpustakan, guru yang sudah diakruniai 5 anak itu melihat hiasan taman dan bunga berwarna-warni.
Ruang kelas, pohon jambu, tanaman ubi kayu, pisang, rambutan dan sejumlah benda lainnya. Semua seakan bertanya ada apa gerangan. Kenapa jadi sepi. Kenapa tidak seramai sebelumnya.
“Hari ini aku katakan pada semuanya, ada wabah yang sangat berbahaya, namanya Corona. Untuk itu mari kita bersama berdoa biar Allah SWT cepat mengambil Corona tersebut. Amiiin.” kata sang guru dalam hati, seakan memberi balasan atas pertanyaan semua makhluk dan benda mati di sekolah.
Guru paruh baya itu kembali pulang ke rumahnya. Menjumpai istri dan anak-anaknya yang tadi telah ditinggalkan beberapa waktu untuk melepas kangen pada sekolah yang sangat dicintainya.
“Semua ini akan kuceritakan kepada rekan-rekan guru melalui WhatSapp biar rekan guru juga tahu apa yang kualami dan kurasakan dikala tiba ke sekolah.
******
“Bapak/ibuk, pagi ini Ambo ke sekolah. Ambo lihat meja dan dingklik patuh menunggu kehangatan bapak/ibuk. Ambo lihat lokal sepi. Seolah-olah bertanya ada apa. Biasanya riuh dengan bunyi belum dewasa dan ramai dengan irama bapak/ibuk menasihati anak masing-asing.
Ambo pergi ke batang pohon jambu yang sedang menunggu siapa saja yang mau sebab sudah satu minggu, tidak sepasang kaki pun yang mendekat.
Ambo pergi ke belakang, menatap hamparan daun ubi, sedang melambaikan daun-daun yang seolah-seolah bertanya, kemana ibuk-ibuk yang biasa memetik daun kami, koq tidak akan dijual, untuk di rumahpun jadi, asal kami ketemu sama ibuk-ibuk guru yang manis dan cantik.
Kemudian menengok ke batang pisang, ia eksklusif bertanya ‘kama apak, kamilah tak tahan menunggu’.
Tengok ke kiri, batang rambutan yang meranggas dan tinggal daun-daunnya. Dia berkata, habis manis sepah dibuang.
Mendekat ke pustaka, Ambo lihat bunga warna warni, yang menunggu pasangan-pasangan mata penikmatnya, dan Ambo katakan kepada semua hari ini, “Ada wabah yang sangat berbahaya namanya Corona, untuk itu mari kita bersama berdoa semoga Allah SWT cepat mengambil Corona tersebut. Amin!”
Keterangan : Ambo (bahasa Minang, Saya), Kama (kemana)
(Curahan Hati ini ditulis melalui Grup WhatSapp sekolah oleh Ropi’u, S.Pd.dan dikembangkan seperlunya oleh Admin Matra Pendidikan).
Tag :
Cerpen
0 Komentar untuk "Semua Bertanya Kenapa Sepi"