Kritisisme Terhadap Pandangan Filsafat Immanuel Kant
. Rasinonalisme dan Empirisme telah menengang semenjak lebih dari 100 tahun. Ketegangan yang telah mengurangi rasa hormat pengikutnya, tidak hanya kepada ajaran-ajaran filsafat tetapi juga kepada ilmu pengetahuan pada umumnya. Rasionalisme gagal membangun transendensi Tuhan atas alam. Alih-alih membuktikan trasendensi Tuhan atas alam semesta, rasionalisme justru terjerat dalam panteisme implisit ala Descartes, Malabranca, Leibniz, dan panteisme eksplisit Spinoza. Di lain pihak, empirisme pun gagal membuktikan keberadaan alam yang diyakini sebagai yang berbeda dari pikiran. Empirisme justru kehilangan jati dirinya dalam skeptisisme. Tidak bisa dipungkiri, kegagalan rasionalisme dan empirisme yaitu konsekuensi logis dari fenomenalisme yang bekerjsama yaitu fundasi dari rasionalisme dan empirisme itu sendiri, terutama pedoman bahwa insan tidak bisa mengetahui benda-benda (things) atau realitas; bahwa yang diketahui insan hanyalah penampakan (appearance) di mana benda-benda atau kenyataan dihasilkan atau diproduksi dalam pikiran manusia.
Pemikiran Immanuel Kant dan Kritisisme Kantian berusaha menyatukan rasionalisme dan empirisisme dalam semacam fenomenalisme “baru” (fenomenalisme jenis unggul). Bagi Kant, manusialah bintang film yang mengkonstruksi dunianya sendiri. Melalui a priori formal, jiwa insan mengatur data garang pengalaman (pengindraan) dan kemudian membangun ilmu-ilmu matematika dan fisika. Melalui kehendak yang otonomlah jiwa membangun moralitas. Dan melalui perasaan (sentiment) insan menempatkan realitas dalam hubungannya dengan tujuan tertentu yang hendak dicapai (finalitas) serta memahami semuanya secara inheren sebagai yang memiliki tendensi kepada kesatuan (unity).
Berbagai contoh kegiatan insan ini membentuk apa yang disebut Kant sebagai“Revolusi Kopernican”. Gagasan seputar Revolusi Kopernican ini dapat dirumuskan secara singkat berikut: Apa yang harus diketahui manusia, apa yang harus dilakukan, dan apa yang harus percaya menemukan pembenarannya bukan dalam realitas yang ada dalam dirinya (noumenon) sebagaimana metafisika tradisional memahaminya, tetapi di dalam kemampuan teoritis, praktis dan estetika manusia. Menurut Kant, pengetahuan wacana bagaimana kemampuan-kemampuan ini berfungsi merupakan persiapan yang diharapkan bagi semua metafisika semua (istilah “noumenon” susah diterjemahkan. Kata ini dimaksud untuk menyebut apa yang Kant istilahkan sebagai “Ding-an sich”, yakni hal dalam dirinya sendiri, atau obyek, sebagai lawan dari fenomena, pengaruh atau efek subyektif yang dihasilkan oleh kesadaran kita).
Jika secara retrospeks Kritisisme Kantian menandai persimpangan jalan dan sublimasi rasionalisme dan empirisme, bekerjsama bisa dikatakan bahwa Kritisisme Kantian mengandung dalam dirinya benih dari semua pemikiran filosofis berikutnya, termasuk filsafat kontemporer. Dua gerakan filosofis utama kala lalu, yakni idealisme dan positivisme, memiliki sumbernya dalam pedoman Kant.
Menolak sama sekali noumenon, idealisme mereduksikan realitas kepada sekadar fenomena dari “ego” impersonal yang menampilkan aktivitasnya secara dialektis. Positivisme, pada gilirannya, mereduksikan realitas kepada sekadar fenomena dari materi. Idealisme dan positivisme kemudian melahirkan eksistensialisme kontemporer, filsafat tanpa metafisika dan dimaksudkan untuk menyampaikan pengetahuan wacana dunia yang diselenggarakan oleh daya-daya imanen. Sama ibarat pendahulunya, eksistemsialisme tidak bisa menyampaikan jalan keluar definitif bagi masalah-masalah perennial filsafat.
Hidup dan Karya Immanuel Kant
Immannuel Kant merupakan seorang filsafat kelahiran Konigsberg di Prusia Timur pada tanggal 22 April 1724. Pada awal studinya, Immanuel memulai karirnya Fredericianum Collegium, salah satu sentra pietisme Jerman termasyur, Setelah lulus, Kant melanjutkan sekolah dan mengambil jurusan filsafat di Universitas Konigsberg, di mana beliau berguru filsafat rasionalistik Wolff serta matematika dan fisika Newton. Setelah menamatkan studi di universitas tersebut Kant menghabiskan sembilan tahun sebagai guru bagi beberapa keluarga terpandang sebelum kembali mengajar di universitas tempat ia mengambil ilmu ini.
Setelah kembali ke Konisbergm Immnuel Kant menerbitkan sebuah buku berjudul General Natural History of Heavens pada tahun 1755, di mana ia membahas hipotesis bahwa sistem tata surya bekerjsama bersumber pada materi asali nebulus. Setahun kemudian Kant mulai mengajar di Universitas Konigsberg hingga tahun 1797. Tahun 1756 menandai pembaruan minat dalam penyelidikan filosofis. Dirangsang oleh empirisme Hume dan naturalisme Rousseau, Kant mulai merencanakan revisi kritis terhadap rasionalisme dogmatis Leibniz dan Wolff, pemikiran yang sangat diakrabinya selama masa “tidur dogmatis”.
Seluruh keraguan yang menumpuk dalam pikiran Kant menemukan ekspresinya dalam karya berjudul The Dreams of a Visionary Illustrated with the Dreams of Metaphysics. Buku ini ditulis Kant pada tahun 1766. Pandangan visioner yang didiskusikan Kant dalam buku ini terutama berpusat pada karya Swedenborg, seorang metafisikawan Swedia yang waktu itu ajarannya menjadi topik yang hangat didiskusikan. Diangkat menduduki dingklik Logika dan Metafisika di Universitas Konigsberg pada tahun 1779, resmilah Kant menyelesaikan studinya dengan disertasi De Mundi sensibilis atque intelligibilis formis et principiis, di mana untuk pertama kalinya beliau menunjukkan kecenderungan mengadopsi sistem independen filsafat.
Tidak hingga sepuluh tahun ketika periode “pra-kritis” Kant berakhir. Pada tahun 1781 Kant muncul sebagai penggagas kritik transendental dengan penerbitan karya Critique yang pertama. Demikianlah, dimulai “periode kritis” yang bertahan hingga tahun 1794. Setelah beberapa publikasi wacana agama yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Kekristenan tradisional, Kant mentaati perintah Raja Frederick William II untuk tidak membicarakan persoalan agama dalam pedoman dan tulisan-tulisannya.
Pensiun dari mengajar karena usia dan sakit, Kant menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya dengan mengedit ulang karya-karyanya. Dia meninggal di kota kelahirannya pada tanggal 28 Februari 1804.
Karya utama Kant selama periode kritis meliputi Critique of Pure Reason, di mana beliau menguji kecerdikan insan dan menyimpulkan bahwa insan bisa membangun ilmu pengetahuan, dan bukan metafisika. Pada tahun 1783 ia menerbitkan Prolegomena atauPrologues to any Future Metaphysics, di mana beliau menguji hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Pada 1785 terbitlah karyanya berjudul Foundation for the Metaphysics of Ethics, di mana ia mendiskusikan persoalan moral berdasarkan prinsip-prinsip kritik transendental. Dalam bukunya Critique of Judgment, ia menguji finalitas dalam alam dan persoalan estetika. Ketiga Critique inilah yang menjadi maha karya serta eksposisi definitif pemikiran seorang Immanuel Kant.
Kritik atas Rasio Murni
Rasionalisme dan empirisisme mengambil alih penyelesaian problem: “Nilai apa yang dikandung oleh pengetahuan (ide atau impresi) yang saya dapatkan wacana dunia fisikal (material) dan hubungannya dengan apa yang harus saya lakukan?” Pertanyaan ini mengandung sekaligus persoalan epistemologis dan etis. Untuk mengatasi kesulitan, rasionalisme—dari Descartes hingga Leibniz—telah mulai dengan asumsi bahwa pikiran insan dianugerahi dengan ide-ide bawaan. Memulainya dengan melaksanakan deduksi dari ide-ide bawaan ini, rasionalisme membangun pengetahuan yang dilengkapi denganuniversalitas (karena ide-ide bawaan bersifat umum bagi semua pikiran) dan sesuatu yang dibutuhkan (kualitas yang harus dimiliki semua pengetahuan ilmiah dan filsafat). Tetapi rasionalisme gagal menunjukkan keabsahan atau validitas jenis pengetahuan ini dalam rujukannya kepada dunia alam tanpa jatuh ke panteisme. Selanjutnya, dalam setiap pertimbangan mengenai Yang Mahakuasa yang transenden, orde atau susunan ide-ide tetap terpisah dan berbeda dari orde atau susunan benda-benda.
Di lain pihak, empirisme berusaha menjawab pertanyaan yang sama dan memulainya dengan impresi inderawi. Dengan cara ini empirisme mengklaim telah “menemukan” salinan atau kopi objek yang ditangkap melalui impresi indrawi tersebut. Meskipun demikian, cara ini tidak bisa menunjukkan aspek universalitas dari dan keniscayaan pengetahuan tersebut. Empirisme lupa bahwa setiap persepsi, meskipun bersifat tak-terbatas (ad infinitum), tetap saja partikular. Kritisisme semacam ini tentu telah terlebih dahulu digagas dan dikemukakan David Hume dan tak-terbantahkan. Untuk menghindari kesulitan sebagaimana dihadapi empirisme ini, Hume mengemukakan unsure psikologis yang lain yang disebut sebagai kebiasaan mengasosiasi (the habit of association) yang menghubungkan impresi yang satu dengan impresi lainnya dan kemudian menyampaikan mereka unsur universalitas dan keniscayaan. Apakah jalan keluar ini memuaskan? Harus diingat di sini, jikalau intelek bisa menghubungkan fenomena yang satu dengan fenomena lainnya dan kemudian menegaskan dimensi universalitas dan keniscayaan mereka, intelek semacam itu tentu bukanlah “tabula rasa”. Intelek dengan kemampuan semacam ini pasti memiliki konsep-konsep tertentu dalam dirinya (innate concept) mengenai universalitas dan keniscayaan, yang kemudian mengatributkannya kepada fenomena partikular ketika fenomena-fenomena itu dihubungkan satu sama lain dalam kelompok atau kelas tertentu.
Lihatlah bahwa gagasan yang sangat tidak memuaskan yang ditawarkan empirisme maupun jalan keluar yang disodorkan Hume sungguh-sungguh “memaksa” Kant untuk memikirkan cara terbaik memahami realitas. Kant tertantang untuk menemukan unsur objektif dan nilai etis dari pengetahuan kita [dua pertanyaan penting yang dijawab Kant yaitu (1) what can I know? yang bekerjasama dengan teori pengetahuan dan (2) what should I do? yang bekerjasama dengan persoalan etika]. Dalam usahanya menyampaikan sebuah solusi yang konklusif, Kant menulis karya Critiques (disebut demikian karena dimaksudkan untuk mengkritik dalam pengertian mendiskusikan dan menimbang). Demikianlah, seluruh karya Immanuel Kant dapat sebut sebagai usaha serius menguji secara saksama rasionalisme dan empirisme, tentu bukan untuk memberangus sama sekali keduanya, tetapi untuk menemukan kelemahan-kelemahan mereka seraya tetap mempertahankan hal-hal esensial dari keduanya.
Menurut Kant, rasionalisme termasuk jenis “putusan analitis. Disebut demikian karena jenis putusan ini mengkonstruksi sebuah sistem pengetahuan yang dilengkapi dengan aspek atau dimensi universalitas dan keniscayaan, tetapi bagi Kant, jenis pengetahuan semacam ini bersifat tautologis. Jenis pengetahuan ini tidak bisa membantu kita memahami realitas. Pengetahuan jenis ini tentu tidak andal, karena itu pengetahuan harus maju selangkah lagi, dan menurut Kant, pengetahuan harus bersifat “sintetis”. Yang dimaksud yaitu jenis pengetahuan yang predikatnya memperluas pengetahuan kita mengenai subjek. Empirisme tentu bukanlah jenis putusan “sintetis”, tetapi lebih merupakan putusan a posteriori, di mana predikatnya tidak lebih dari fakta pengalaman, dan tentu saja menimbulkan putusan ini kehilangan unsur universalitas dan keniscayaannya. Jenis putusan apapun yang tidak memiliki unsur universalitas dan keniscayaan tentu bukanlah jenis pengetahuan filosofis yang cukup meyakinkan.
Kant mengajarkan bahwa ada jenis putusan lain yang disebut putusan sintetis apriori. Bagi Kant, jenis putusan ini akan mengarah kepada pengetahuan ilmiah yang benar. Jenis putusan ini disebut sintetis karena memiliki abjad universalitas dan memenuhi criteria keniscayaan (necessity) tanpa menjadi tautologis. Selain itu, jenis putusan ini pun memiliki fekunditas putusan aposteriori tanpa dibatasi pada pengada tertentu yang ada di dunia empiris. Syarat pembentukan setiap putusan sintetis apriori yaitu perlunya putusan memiliki forma (form) dan materi (matter). (1) Forma diberikan oleh intelek, independen dari semua pengalaman, a priori, dan pertanda fungsi, cara dan hukum mengetahui dan bertindak yang eksistensinya mendahului seluruh pengalaman. (2) Materi tidak lain yaitu sensasi subjektif yang kita terima dari dunia luar.
Melalui kedua unsur inilah manfaat dari rasionalisme dan empirisme dipersatukan dalam putusan yang sama: forma mewakili unsur universal dan niscaya, sedangkan materi mewakili data empiris. Putusan yang dihasilkan (sintetis apriori) yaitu universal dan niscaya karena forma, dan absah bagi dunia empiris karena materi. Perlu dicatat bahwa kedua elemen ini harus ada dalam setiap pembentukan putusan sintetis apriori: forma tanpa materi yaitu hampa; materi tanpa bentuk yaitu buta.
Jelas, pengetahuan diperoleh melalui putusan apriorinya Kant yaitu jenis pengetahuan yang memiliki hanya nilai fenomenal. Jenis pengetahuan ini tidak menyampaikan pemahaman yang valid mengenai obyek “in se” atau sebagaimana merekaa eksis di alam (noumena), tetapi hanya sejauh mereka dipikirkan oleh subjek. Ego berpikir Kant tidak mengasimilasi obyek, sebagaimana dipertahankan filsafat tradisional, tetapi konstruksinya. Kenyataannya, baik materi dan bentuk (sensasi) yaitu elemen subjektif dan tidak memperlihatkan kenyataan; bahkan tetap terpisah dan berbeda dari subjek.
Kant menyajikan studinya mengenai putusan sintetis apriori dalam Critique of Pure Reason. Karya ini dibagi menjadi tiga bagian:
- Dalam Transcendental Aesthetic (Estetika Transendental), Kant menyelidiki unsur-unsur pengetahuan yang masuk kecerdikan mengacu pada suatu bentuk apriori ruang dan waktu. Objek penelitian ini yaitu untuk membuktikan matematika sebagai ilmu yang sempurna.
- Karya Transcendental Analytic (Analitika Transendental) yaitu sebuah penyelidikan ke dalam pengetahuan intelektual. Obyeknya yaitu dunia fisik, dan ruang lingkupnya yaitu membuktikan “fisika murni” (mekanik) sebagai ilmu yang sempurna.
- Objek penelitian dari Transcendental Dialectic (Dialektika Transendental) yaitu realitas yang melampaui pengalaman kita; yaitu esensi Allah, insan dan dunia. Kant mereduksikan objek-objek dari metafisika tradisional ini kepada “ide-ide,” yang tentangnya berputar-putar secara sia-sia, tanpa harapan untuk bisa tiba pada sebuah hasil yang pasti.
1. Estetika Transendental
Awal pengetahuan yaitu sensibilitas. Artinya pengetahuan berawal dari proses sensasi atau pengindraan. Supaya pengetahuan bisa dihasilkan, sensasi harus dilokasikan dalam ruang (in space), jikalau pengetahuan tersebut dihasilkan melalui indera eksternal. Sementara itu, sensasi dilokasikan dalam waktu (in time) jikalau pengetahuan dihasilkan satu melampaui lainnya, tidak peduli dari mana asal pengetahuan tersebut, bahkan ketika pengetahuan tersebut hanyalah keadaan kesadaran yang sederhana, misalnya kenikmatan dan rasa sakit.
Bagi Kant, ruang dan waktu bukanlah realitas yang eksis dalam dirinya sendiri, sebagaimana dipercaya Newton. Ruang dan waktu juga bukan realitas yang dihasilkan oleh pengalaman, sebagaimana dipertahankan Aristoteles. Ruang dan waktu lebih merupakan bentuk-bentuk a priori, Pengetahuan pada tingkat pengindraan (intuisi murni) membawa dalam dirinya semacam kegentingan (exigencies), bahwa setiap pengindraan (sensation) harus dilokasikan dalam ruang, entah itu di atas, di bawah, di sebelah kiri atau kanan, dan dalam waktu, yakni sebelumnya, sesudahnya, atau yang bersamaan dengan pengindraan lainnya. Demikianlah, ruang dan waktu yaitu kondisi-kondisi, bukanlah keberadaan dari sesuatu tetapi posibilitas dari keberadaannya yang termanifestasi di dalam diri kita. Singkatnya, ruang dan waktu yaitu bentuk-bentuk subjektif.
Aritmatika dan geometri kemudian didasarkan pada ruang dan waktu. Akibatnya, mereka didasarkan pada bentuk-bentuk subyektif, serta aspek keseluruhan (universalitas) dan kondisi yang harus ada (necessity) yang kita temukan di dalam mereka muncul atau dihasilkan dari bentuk-bentuk subyektif ini. Dengan kata lain, aritmatika dan geometri yaitu ilmu mutlak, bukan karena mereka mewakili sebuah aspek universal dan keniscayaan dari dunia fisik tetapi karena mereka yaitu konstruksi apriori jiwa insan dan mendapatkan darinya universalitas dan keniscayaan.
2. Analitik Transendental
Intuisi murni wacana ruang dan waktu menyajikan kepada kita spektrum pengetahuan (dalam epistemologi Kant digunakan istilah manifold, dimaksud sebagai “the totality of discrete items of experience as presented to the mind; the constituents of a sensory experience”), tetapi bekerjsama merupakan pengetahuan yang tidak tertata. Jiwa manusia, yang cenderung ke arah penyatuan pengetahuan, tidak bisa berhenti pada intuisi yang membingungkan ini. Roh atau jiwa insan selalu ingin bergerak maju ke pengetahuan pada tingkat yang lebih tinggi yang berpusat di kecerdasan (intellect) dan yang kegiatannya yaitu mengatur data yang diinderai yang tersebar dalam ruang dan waktu. Aktivitas ini dimungkinkan melalui bentuk-bentuk (forms) apriori atau atau kategori-kategori yang dengannya intelek mendapatkan bentuknya. Bentuk-bentuk atau kategori-kategori semacam ini berfungsi sebagai berikut:
- Pada intuisi, misalnya, intuisi mengenai “pohon”. Saya punya data tertentu yang diindrai (warna, daun, cabang, dll) yang eksis dalam ruang dan dalam perubahan yang sifatnya temporal.
- Intelek mengolah data-data ini (data-data pohon) sesuai keadaan alamiahnya—yakni sesuai bentuk atau forma apriorinya—dan menggunakan substansi untuk memantapkan atau menstabilkan data-data pengindraan yang masih berubah-ubah ini. Pada gilirannya, substansi lalu menjadi salah satu dari kategori intelek. Meskipun demikian, intelek tidak berdiam diri di dalam substansi.
- Proses ini akan terus berlanjut di mana data yang dikelola intelek kemudian diletakkan dalam hubungannya dengan data yang mendahului “pohon” itu. Intelek kemudian mengasosiasikan data-data tersebut dengan konsep kedua, yakni “penyebab” (cause). Ini yaitu kategori kedua, yang karenanya fenomena terikat atau tergantung satu sama lain berkat tunjangan suatu koneksi yang sifatnya universal dan perlu. Hubungan atau koneksi ini terjadi sedemikian rupa sehingga pada ketika fenomena ada atau terjadi (penyebab), pada ketika itu pula fenomena lainnya (efek) harus terjadi, selalu dan di mana-mana.
Ada 12 kategori intelek, dan dibagi oleh Kant menjadi empat kelas, yakni kuantitas, kualitas, hubungan, dan moda. Keduabelas kategori berfungsi sebagai kerangka contoh di mana hukum-hukum mekanis alam bisa dipahami. Perlu dicatat bahwa unifikasi permanen dari data yang diinderai ini hanya mungkin dengan syarat bahwa intelek pemersatu (yang dimaksud yaitu intelek) tetap identik dengan dirinya sendiri. Jika intelek berubah-ubah di hadapan data yang diinderai, mustahil mencapai suatu unifikasi permanen. Demikianlah universalitas dan objektivitas ilmu pengetahuan menyiratkan keabadian intelek dalam identitasnya.
3. Dialektika Transendental
Klasifikasi yang dilakukan intelek atas data-data yang ditangkap intuisi ke dalam kategori-kategori tidak pernah mencapai suatu penyatuan sempurna. Dalam dunia fenomenal selalu ada serangkaian fenomenal yang memperpanjang sendiri tanpa batas dalam ruang dan waktu. Dalam diri kita, bagaimanapun, ada kecenderungan untuk mencapai penyatuan fenomena secara tetap, dan sebagai balasannya timbul dalam diri kita “ide-ide” tertentu yang berfungsi sebagai titik contoh dan pengatur bagi fenomena secara keseluruhan. “Ide-ide” dimaksud ada tiga, yakni, (1) ego personal, prinsip pemersatu atas semua fenomena internal; (2) dunia eksternal, prinsip pemersatu dari semua fenomena yang datang dari luar, dan (3) Allah, prinsip pemersatu dari semua fenomena, terlepas dari asal-usul mereka.
Ego personal, dunia eksternal, dan Yang Mahakuasa (realitas tertinggi dari metafisika tradisional), disebut numena, yaitu, realitas dalam dirinya, pengada yang melampau realitas yang diindrai dan dan tak-terkondisikan. Kant menyajikan ketiga entitas ini dalam karyanya berjudul Dialektika Transendental, episode ketiga dari Critique of Pure Reason.
Demikianlah, Dialektika Transendental membawa kita ke tingkat ketiga dari pengetahuan manusia. Inilah episode dari pengetahuan insan yang menyibukkan diri dengan “ide-ide” yang oleh Kant sendiri disebut sebagai rasio. Bagian ketiga dari Critique of Pure Reasonbertujuan untuk melihat apakah ide-ide mengenai “ego”, “dunia”, dan “Allah” memungkinkan kita untuk mengetahui kenyataan sebagaimana mereka representasikan, atau apakah pengetahuan tersebut tidak mungkin. Ide-ide ini pada gilirannya akan menjadi semacam wadah subjektif tanpa makna. Jelas bahwa kritisisme Kant berakhir dalam skeptisisme. Rasio murni selalu terhubung dengan intuisi yang bisa diindrai, dan karena itu tidak dapat hingga pada pengetahuan wacana ego personal, dunia, dan Allah. Ketiga realitas ini melampaui data-data intuisi.
Sehubungan dengan “ego personal” (substansi)—objek dari psikologi rasional dalam filsafat tradisional—Kant mengamati bahwa hal itu lenyap dalam paralogisme-paralogisme, yaitu di dalam sofisme, penalaran palsu. Jadi, bertentangan dengan Descartes, Kant percaya bahwa substansi spiritual tidak dapat diketahui secara langsung. Apa yang dapat kita ketahui secara eksklusif yaitu tindakan mengetahui (fenomena). Serangkaian tindakan ini, bahkan jikalau diekstensi secara tak-terhingga, tidak akan pernah menyampaikan kita pengetahuan wacana kenyataan ibarat ego personal, yang seharusnya berada melampau rangkaian pengetahuan ini. Selain itu, bagi Kant, substansi yaitu kategori intelek yang memiliki kekerabatan hanya kepada data-data yang bisa diindrai, dan balasannya tidak memiliki kegunaan dalam upaya menemukan pengetahuan wacana realitas yang melampaui pengindraan. Kant pada titik ini diarahkan eksklusif kepada Descartes yang berpendapat bahwa objek pertama pengetahuan yaitu jiwa (substansi spiritual).
Dengan mengacu pada dunia eksternal, yang mengenainya studi filsafat tradisional mempelajarinya secara khusus dalam kosmologi, Kant mengatakan bahwa itu hilang dalam antinomi-antinomi, yaitu dalam proposisi kontradiktoris, dan bahwa intelek tidak bisa membedakan manakah dari proposisi yang bertentangan yaitu benar. Antinomi-antinomi ini berjumlah empat, masing-masingnya dibentuk dari sebuah tesis dan antitesis yang sesuai. Keempat antinomi tersebut yaitu berikut:
- Tesis: Dunia harus memiliki awal dalam waktu dan tertutup dalam dalam ruang yang terbatas. Antitesis: Dunia ini kekal dan tak-terbatas.
- Tesis: Materi pada akhirnya dapat dibagi menjadi bagian-bagian sederhana (atom atau monad-monad) yang pada dirinya tidak bisa lagi dibagi menjadi episode yang lebih kecil lagi. Antitesis: Setiap benda material dapat dibagi, bahwa ada sesuatu yang sederhana yang sedang berada atau eksis di satu tempat tertentu di dunia ini.
- Tesis: Selain kausalitas yang sesuai dengan hukum alam (dan karena itu perlu), ada kausalitas yang bebas. Antitesis: Tidak ada kebebasan; segala sesuatu di dunia ini terjadi sepenuhnya sesuai hukum alam.
- Tesis: Terdapat keberadaan pengada absolute tertentu yang perlu yang menjadi episode dari dunia, entah sebagai episode atau sebagai penyebabnya. Antitesis:Pengada absolute tertentu yang perlu itu tidak eksis, entah di dalam dunia ini atau di luarnya.
Dua antinomi pertama (pertentangan berada di antara semesta yang terbatas dan yang tak- terbatas dan di antara materi dapat dibagi dan tak-dapat-dibagi) yaitu episode dari dunia fisik. Menurut Kant, mereka tidak berkorespondensi dengan “benda dalam dirinya sendiri” (noumenon), karena mereka yaitu aplikasi tidak sah dari kategori ruang dan waktu terhadap “benda dalam dirinya sendiri.” Dengan kata lain, dalam dua antinomi ini dunia fisik dianggap sekaligus sebagai “benda di dalam dirinya” yang terlepas dari keniscayaan mekanistik alam (ruang dan waktu) dan sebagai subjek dari keniscayaan mekanistik yang sama. Oposisi apapun yang diturunkan dari posisi kontradiktoris ini niscaya palsu.
Dua antinomi lainnya bekerjasama dengan yang pertama yaitu roh (kebebasan) dan yang kedua bekerjasama dengan Allah. Keduanya bisa menjadi benar dari sudut pandang noumenikal dan dari titik pandang fenomenal. Memang, akan ada kontradiksi yang sama ibarat disebutkan di atas, jikalau kebebasan dan Yang Mahakuasa dipahami sebagai pengada yang tunduk pada kausalitas mekanis. Tetapi roh dan Yang Mahakuasa dapat diafirmasi tanpa mempertimbangkan ruang dan waktu, dan dalam kasus ini tesis dari dua antinomi tersebut tidak menyiratkan adanya kontradiksi.
Dengan demikian tesis-tesis tersebut hanya benar jikalau mereka diafirmasi hanya dari sudut pandang numenal, sama halnya dengan antitesis yaitu benar jikalau mereka diafirmasi hanya dari sudut pandang fenomenal. Demikianlah Kant menyimpulkan kritisismenya, membiarkan pintu terbuka bagi afirmasi akan keberadaan roh dan Allah. Meskipun demikian, harus dicatat bahwa kesimpulan semacam itu tidak dapat disebut sebagai pengetahuan yang benar, karena tidak didasarkan pada intuisi apapun. Bagi Kant, intuisi sendiri menyingkapkan asal-muasal pengetahuan sejati.
Akhirnya, mengacu pada gagasan wacana Allah, Kant mereduksikan argumen yang oleh teologi rasional justru sangat ditonjolkan dalam membuktikan keberadaan Yang Mahakuasa berikut:
- Argumen Ontologis (St. Anselmus, Descartes). Kant menyatakan bahwa pembuktian ini tidaklah memadai bukan hanya karena Yang Mahakuasa bukanlah objek intuisi, tetapi juga karena peralihan dari dunia fenomenal (pemikiran) ke dunia numenal (realitas) tidaklah sah.
- Argumen kosmologis. Kant menyatakan bahwa argumen ini tidak memadai karena mendasarkan dirinya pada prinsip kausalitas, dan bagi Kant, kausalitas yaitu salah satu kategori yang hanya berlaku dalam dunia pengalaman dan bukan untuk apa yang ada di luar pengalaman.
- Argumen teleologis. Argumen ini menunjukkan kepada kita bahwa di mana ada finalitas atau tujuan di situ ada Intelijensi, yakni seorang perancang. Namun, ibarat Kant mengamatinya secara benar, argumen ini tidak menunjukkan Inteligensi itu sebagai pengada yang paling sempurna, yaitu Allah.
Demikianlah, Critique of Pure Reason menyimpulkan bahwa pengetahuan kita tidak mencapai realitas metafisik (numena). Kant tidak menyangkal keberadaan Yang Mahakuasa dan dunia eksternal. Dia juga tidak menyangkal keabadian jiwa, tetapi ia mengatakan bahwa entitas-entitas semacam itu tertutup bagi penyelidikan ilmiah. Penyelidikan ilmiah sendiri memiliki dunia fenomenal sebagai objek, dan sama sekali tidak bisa menembus dunia supra-fenomenal, yaitu dunia numena, yang tidak berkondisi. Menurut Kant, Allah, dunia dan jiwa dapat dipahami melalui kegiatan lain, yakni rasio praktis. Apakah yang dimaksud dengan rasio praktis?
Kritik Nalar Praktis
Dalam Kritik Atas Rasio Murni (Critique of Pure Reason), Kant menjadikan unsur-unsur penting dari semua pengetahuan (universalitas dan keniscayaan) tergantung (dependent), bukan pada isi pengalaman, tetapi pada bentuk-bentuk apriori. Demikian juga dalam Kritis Atas Rasio Praktis (Critique of Practical Reason), Kant membuat universalitas dan hukum moral menjadi tergantung, bukan pada tindakan empiris dan tujuan yang kita niatkan dalam tindakan kita, tetapi pada imperatif kategoris, yakni dalam kehendak (will) itu sendiri. Sebuah tindakan akan menjadi tindakan yang baik secara moral jikalau kehendak (will) yaitu otonom. Tindakan dilakukan bukan berdasarkan pertimbangan pada hasil final yang akan dicapai tetapi hanya pada ketaatan pada kewajiban. “Kewajiban demi kewajiban itu sendiri”: inilah rigiditas kewajiban moral Kantian. Ini artinya di antara semua imperatif yang dapat menentukan kehendak (will) dalam sebuah tindakan perlu membedakan yang hipotesis dari yang kategoris.
Imperatif hipotetis menetapkan sebuah perintah demi mencapai sebuah tujuan dan dengan demikian sangat dikondisikan oleh hasil final yang hendak dicapai tersebut. Misalnya, Anda harus mengkonsumsi obat yang diharapkan jikalau Anda ingin sembuh. Sementara itu, imperatif kategoris mendesakkan dirinya secara otomatis, yakni berdasarkan kekuatan kewajiban, tanpa memperhatikan hal baik atau atau buruk yang mungkin timbul karena tindakan tersebut. Msalnya, “Kerjakan ini karena itulah kewajibanmu.” Hanya imperatif kategoris menikmati universalitas dan keharusan, dan karenanya hanya mereka dapat menjadi dasar moralitas.
Perbedaan mendasar harus dikemukakan antara bentuk a priori intelek (kategori-kategori) dan bentuk-bentuk a priori dari kehendak (imperatif kategoris). Yang pertama, akan menjadi tak-bermakna (void) jikalau kehilangan unsur material. Bentuk-bentuk a priori intelek membutuhkan unsur empiris semoga bisa dipahami. Sebaliknya, bentuk-bentuk a priori dari kehendak tidaklah kosong. Bentuk-bentuk ini memiliki elemen-elemen penentu dalam dirinya sendiri. Dengan kata lain, hal sebaliknya harus dikatakan di sini: Bukanlah unsur-unsur empiris yang menentukan bentuk (imperatif), tetapi justru bentuk-bentuklah yang menentukan unsur empiris dan menjadikannya mengandung tuntutan moral.
Misalnya, perintah “Jangan berbohong” menjadi kewajiban bukan karena orang tidak berbohong (unsur empiris), tetapi karena perintah ini berasal dari kehendak (will) selaku pengatur unsur-unsur empiris. Kehendak yaitu legislator otonom dalam ranah tindakan. “Jadi bertindaklah sedemikian rupa sehingga kehendakmu dapat diperhitungkan sebagai yang menetapkan kewajiban-kewajiban moral,” demikianlah salah satu imperatif kategoris Kantian. Tetapi jikalau kita bertindak demikian, kita sudah berada dalam dunia yang melampaui pengindraan dan tak-terkondisikan.
Menurut Critique of Pure Reason kita tidak dapat mencapai realitas yang melampaui pengindraa (noumenon) karena bentuk-bentuk pengetahuan kita (kategori-kategori) yaitu kosong. Isi dari kategori-kategori itu tidak bisa tidak bersifat fenomenal, hal yang terkondisikan. Sebaliknya, bentuk-bentuk kehendak (imperatif kategoris) memiliki isi yang sifatnya independen dalam dirinya, tidak dikondisikan oleh unsur material. Adalah kehendak itu sendiri yang membuat tindakan insan bersifat baik secara moral, dan tidak sebaliknya. Bahkan, menurut Kant, tindakan empiris akan baik hanya dengan syarat bahwa itu dilakukan demi kewajiban. Demikianlah, kehendak tetaplah melampaui dunia fenomenal nan mekanik. Kehendak yaitu episode dari dunia numenal, yakni yang tidak-berkondisikan.
Begitu telah mencapai realitas yang melampaui pengindraan (ingat baik-baik: melalui rasio praktis, dan bukan melalui rasio kognitif), Kant memutuskan untuk menguji apa yang mungkin menjadi postulat (kondisi yang niscaya) yang membuat moralitas menjadi mungkin. Dalam investigasi ini Kant berpendapat bahwa ada tiga postulat yang membangun moralitas, yaitu, kebebasan, keabadian jiwa, dan Allah. Inilah tiga realitas tertinggi dari filsafat tradisional, dan Kant, yang telah menyangkal kemampuan kita untuk mencapai mereka melalui pengetahuan teoritis, percaya bahwa ia bisa menegaskan keberadaan mereka melalui kecerdikan sehat praktis.
- • Pertama, Kant mengamati bahwa kehendak bersifat independen dari semua daya pikat yang berasal dari dunia fenomenal. Alasannya karena kehendak bersifat otonom. Kehendak tidak bisa bersifat demikian jikalau beliau ditentukan atau dikondisikan oleh mekanisme kausal. Oleh karena itu, kehendak yaitu bebas (postulat pertama).
- • Kedua, Kant mengamati bahwa kebajikan yaitu kebaikan tertinggi. Tapi keinginan (desire) kita tidak akan sepenuhnya terpuaskan kecuali jikalau kebahagiaan selalu menjadi akhir dari setiap kebajikan. Dalam dunia fenomenal ini, yaitu mustahil mencapai kebahagiaan melalui kebajikan. Dari fakta ini—bahwa kebahagiaan berada di luar pencapaian dalam kehidupan sekarang—muncul keyakinan akan keabadian jiwa (postulat kedua).
- • Ketiga, karena kita yakin bahwa kebahagiaan mengikuti kebajikan tentu, keyakinan ini melahirkan kepercayaan akan keberadaan Yang Mahakuasa (postulat ketiga).
- Demikianlah, Kant yakin bahwa beliau tidak hanya telah merekonstruksi dunia metafisika tradisional, tetapi juga yakin bahwa dirinya telah meletakkan dasar yang lebih solid bagi metafisika, pendasaran metafisika yang melampaui banyak sekali keraguan apa pun mengenainya. Bagi Kant, kehendak memiliki keunggulan melampaui intelek.
Kritik atas Putusan
Critique of Pure Reason dan Critique of Practical Reason sama-sama membentuk dualisme—fenomena dan noumenon, yakni yang dapat diinderai dan melampaui pengindraan, yang terkondisikan dan tak-terkondisikan, keniscayaan mekanis dan kebebasan. Tidak ada filsafat lain yang sanggup menyimpulkan dualism semacam itu, karena ego pada ketika yang sama yaitu subjek baik bagi dunia teoritis maupun dunia praktis. Oleh karena itu perlu bahwa kedua aspek—teoritis dan praktis—melaluinya realitas ditampakkan, disintesakan dalam sebuah kesatuan yang berpusat pada ego.
Kant mempertahankan pandangan bahwa sintesis semacam itu yaitu mungkin melalui putusan atas perasaan (judgement of sentiment), yakni studi yang mengenainya disajikan Kant dalam Kritik atas Putusan (Critique of Judgment). Putusan atas perasaan janganlah dicampur aduk dengan putusan sintetis a priori yang sudah didiskusikan dalam Critique of Pure Reason. Hal yang terakhir ini mengandaikan suatu bentuk kosong atau forma kosong intelek (kategori), yang ditentukan oleh elemen tertentu yang ditangkap melalui pengindraan. Kant menyebut putusan sintetik a priori sebagai jenis putusan yang penting (determining judgement), dan inilah yang kemudian pengetahuan yang benar dan tepat yang dinamakan pengetahuan fenomenal.
Di lain pihak, putusan atas perasaan terbentuk dengan merujuk objek yang dipahami kepada sebuah bentuk yang tidak ada dalam intelek, tetapi dalam kekuatan afektif dari kehendak (emosi). Bentuk yang muncul dalam sentimen yaitu penengah antara yang teoritis dan yang praktis. Putusan atas perasaan semacam ini yaitu mungkin karena subjek (ego), dengan merefleksikan data yang ditangkap, memutuskan data-data tersebut sebagai yang diadaptasi dengan kegiatan-kegiatan merasa (sentimental activities) si subjek. Kant menyebut kegiatan ini sebagai putusan hasil refleksi (reflecting judgment). Perlu dicatat, putusan sebagai hasil refleksi ini memiliki asal muasal di luar bentuk a priori intelek. Akibatnya, putusan semacam ini tidak menyampaikan kita pengetahuan yang benar dan tepat, tapi hanya memanifestasikan kemendesakkan (exigency) ego. Dalam Kritik atas Putusan (Critique of Judgment), Kant menyajikan hanya dua putusan sebagai hasil refleksi (reflecting judgment)—yang timbul dari finalitas alam (finality of nature) yang disebutnya dengan nama estetika.
1. Putusan teleologis
Kegiatan kreatif alam membuatkan dirinya dalam serangkaian fenomena yang berubungan satu sama lain secara mekanis, yaitu melalui hukum kausalitas. Merefleksikan suksesi mekanistis ini seseorang segera menyadari bahwa unsur-unsur individual dari rangkaian fenomena itu dikoordinasikan secara harmonis menuju sebuah final yang sama, seakan-akan masing-masing episode dikendalikan oleh sebuah Akal Absolute demi mengaktualisasikan tujuan final tertentu yang telah ditentukan sebelumnya (finalitas). Finalitas semacam ini dapat diamati terutama dalam organisme hidup, di mana mudah untuk memperhatikan bagaimana bagian-bagian berkembang ke arah menghasilkan organisme hidup yang sempurna.
Kant memperluas pandangan ini meliputi seluruh alam dan melihatnya berpuncak pada lahirnya spiritualitas, yang akan dicapai melalui budaya dan peradaban, kemampuan teknis dan pendidikan moral. Pandangan teleologis ini, dalam mana kita menganggap dunia pengada-pengada dan peristiwa sebagai yang dibaktikan (ordained) bagi sebuah tujuan final dan pada akhirnya bagi kemendesakan (exigency) spiritualitas kita, menemukan alasannya dalam perasaan dan bukan dalam intelek. Seperti terdapat dalamCritique of Practical Reason, solusinya ditemukan dalam kemendesakan dari yang tidak berkondisi, dan bukan dalam pengetahuan yang tidak berkondisi.
2. Putusan estetis
Putusan estetis, melaluinya kita menilai sebuah objek sebagai yang menyenangkan, dimulai dengan kita memisahkan objek dari setiap konsep khusus (determined concept) dan dari setiap kepentingan praktis, dan dengan mereferensi objek yang telah dibebaskan itu kepada subjek. Subyek kemudian menemukan kepuasan fakultas rohaninya dalam obyek yang dirujuk kepadanya dan menyatakan kepuasannya ini dalam putusan estetis: “Lahan ini indah!” Hal yang kurang dalam putusan estetis yaitu (1) semua putusan pengetahuan (misalnya: “Lahan ini luas”), dan (2) semua putusan dari kepentingan (misalnya: “Lahan ini memiliki kegunaan untuk penggembalaan ternak”).
Objek dari sebuah putusan estetis yaitu adalah “bentuk” dari objek yang ditentukan dalam dirinya sendiri (considered in itself) (misalnya: komposisi warna dalam sebuah lanskap) dan diarahkan kepada subjek. Subyek dengan demikian menemukan kepuasan bagi fakultas rohaninya. Dalam menyadari kenikmatan estetis, subjek (ego) merasa dirinyabebas dari kepentingan teoritis atau praktis apapun; ia merasa dirinya sebagai satu,seorang pribadi, subjek dari kegiatan rohani. Demikianlah kita berada dalam ranah yang tidak berkondisi. Perlu dicatat bahwa putusan estetis bukanlah pengetahuan sejati. Ini yaitu urgensi atau kemendesakan dari subjek dalam mengekspresikan perasaan estetisnya dalam cara sebagaimana dijelaskan.
Kesimpulan
Bagi Kant, satu-satunya pengetahuan yang benar dan tepat yaitu pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui kategori-kategori intelek, yang tugasnya yaitu mengatur data-data pengindraan yang masuk sesuai suksesi mekanik mereka. Ideal realitas (noumenon), Allah, keabadian jiwa, dan dunia eksternal bukanlah objek dari intuisi yang masuk kecerdikan (sensible intuiton), dan karenanya bukan obyek dari pengetahuan yang yaitu lazim bagi intelek.
Tanpa ragu, bagi Kant, keberadaan dari yang melampaui pengindraan, Yang Mahakuasa dan keabadian jiwa sungguh-sungguh pasti; itu yaitu determinasi konseptual (conceptual determination) mereka yang yaitu mustahil. Untuk alasan ini, Kant dipaksa menunjukkan keberadaan mereka sebagai yang dipostulatkan oleh rasio praktis dan sebagaikemendesakan dari fakultas yang beroperasi di ranah finalitas dan estetika.
Tetapi begitu pemahaman yang benar dan tepat dari keberadaan Yang Mahakuasa dan jiwa ditolak, siapa yang dapat meyakinkan kita bahwa postulat-postulat dan kemendesakan-kemendesakan yang dibicarakan Kant dengan begitu fasih bukanlah semata-mata ilusi si subjek? Bukankah akan tampak lebih logis untuk menyajikan subjek, jiwa manusia, sebagai pencipta dan pengatur mutlak, dan kemudian menurunkan seluruh realitas dari insan melalui deduksi logis?
Inilah kecenderungan yang perlahan-lahan menyertai seluruh Kritisisme Kantian, dan untuk alasan ini tanpa keraguan apapun Kant yaitu Bapak Idealisme modern
Kritisisme Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant yaitu filsuf modern yang paling berpengaruh. Pemikirannya yang analisis dan tajam memasang patok-patok yang mau tak mau menjadi contoh bagi segenap pemikiran filosofis kemudian, terutama dalam bidang epistimologi, metafisika dan etika. Kant dilahirkan di Konigsberg, prusia. Pada usia delapan tahun kant menjadi murid di gymnasium. Pada tahun 1740 kant meninggalkan gymnasium dan melanjutkan studinya wacana teologi di universits Konigsberg. Namun perhatiannya justru tercurah pada filsafat, ilmu pasti dan fisika. Karena tidak bisa membiayai studinya, Kant memperoleh uang studinya dari beasiswa.
Setelah berguru filsafat, fisika dan ilmu pasti, kemudian ia menjadi guru besar dalam ilmu logika dan metafisika, juga di Konigsbergen. Hidupnya dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pra-kritis dan tahap kritis, dengan kira-kira tahun 1770 sebagai garis perbatasannya, yaitu ketika ia mendapatkan jabatan guru besar. Sejak itu ia menyodorkan filsafatnya kepada dunia dengan penuh kepastian, sedang sebelumnya masih terdapat perubahan perubahan dalam goresan pena tulisannya. Semula Kant dipengaruhi oleh rasionalisme Leibniz dan Wolf, kemudian dipengaruhi oleh empirisme Hume, sedang Rousseau juga menampakkan pengaruhnya. Menurut Kant sendiri Hume-lah yang menjadikan ia bangkit dari tidurnya dalam dogmatisme. Hume berpendapat bahwa empiris yaitu sebuah pengetahuan yang tak lebih dari kesan kesan indrawi saja, namun Kant bertentangan denagan filsafat Hume. Kant menulis wacana banyak sekali persoalan dari bidang ilmu alam, ilmu pasti, dan filsafat. Kemudian, selama 11 tahun tak ada goresan pena Kant apapun, itulah ketika pemikiran Kant berubah.
Pembahasan
Kant kerap dipandang sebagai tokoh paling menonjol dalam bidang filsafat setelah era yunani kuno. Perpaduannya antara rasionalisme dan empirisme yang ia sebut dengan kritisisme, ia mengatakan bahwa pengalaman kita berada dalam bentuk-bentuk yang ditentukan oleh perangkat indrawi kita, maka hanya dalam bentuk-bentuk itulah kita menggambarkan eksitensi segala hal. Kant dengan pemikirannya membangun pemikiran baru, yakni yang disebut denagan kritisisme yang dilawankan terhadap seluruh filsafat sebelumnnya yang ditolaknya sebagai dogmatisme. Artinya, filsafat sebelumnnya yang ditolaknya sebagai dogmatism. Artinya, filsafat sebelum dianggap kant domatis karena begitu saja kemampuan rasio insan dipercaya, padahal batas rasio harus diteliti dulu .
Yang dimaksud dengan dogmatisme yaitu filsafat yang mendasarkan pandangannya kepada pengertian Yang Mahakuasa atau subtansi atau monade, tanpa menghiraukan rasio telah memiliki pengertian wacana hakekatnya sendiri, luas dan batas kemampuannya. Filsafat bersifat dogmatis mendapatkan kebenaran-kebenaran asasi agama dan dasar ilmu pengetahuan begitu saja, tanpa mempertanggungjawabkan secara kritis. Dogmatisme menganggap pengenalan obyektif sebagai hal yang sudah sendirinya. Sikap demikian, menurut Kant yaitu salah. Orang harus bertanya: “bagaimana pengenalan obyektif (itu) mungkin?”. Oleh karena itu penting sekali menjawab pertanyaan mengenai syarat-syarat kemungkinan adanya pengenalan dan batas batas pengenalan itu.
Filsafat kant disebut dengan kritisisme. Itulah karena ketiga karyanya yang besar disebut “kritik”, yaitu kritik der reinen vernunft, atau kritik atas rasio murni (1781), kritik der praktischen vernunft, atau kritik atas rasio praktis (1788) dan kritik der urteilskraft, atau kritik atas daya pertimbangan (1790).
Secara harfiah kata kritik berarti pemisahan. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatan kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Makara filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan—kemampuan rasio secara obyektif dan menentukan batas-batas kemampuannya, untuk memberi tempat kepada iman dan kepercayaan.
Menurut Kant, pemikiran telah mencapai arahnya yang pasti di dalam ilmu pengetahuan pasti – alam, ibarat yang telah disusun oleh Newton. Ilmu pengetahuan pasti-alam itu telah mengajarkan kita, bahwa perlu sekali kita terlebih dahulu secara kritis meneliti pengenalan. Pertanyaannya kenapa Immanuel Kant menyatakan filsafatnya kritisisme?
Alasannya yaitu karena Kant menggabungkan kedua faham yang berseberangan, yaitu rasionalisme eropa yang teoritis, a priori, sesuai rasio, dan terinspirasi oleh Plato, serta empirisme Inggris yang berpijak kepada pengalaman, a posteriori, dan terinspirasi oleh Aristoteles. Pertama Kant beranggapan kedua paham tersebut sama baiknya dan bisa digabungkan untuk mencapai hal yang sempurna.
Apesteriori menurut istilah yaitu menunjukkan sejenis pengetahuan yang dapat dicapai hanya dari pengalaman, maka dari itu pengetahuan dapat dirumuskan hanya setelah observasi dan eksperimen. Lawan dari a priori. Apriori digunakan, kontras dengan aposteriori, unutk mengacu kepada kesimpulan-kesimpulan yang diasalkan dari apa yang sudah ditentukan, dan bukan dari pengalaman. Apriori berarti tidak bergantung pada pengalaman inderawi. Kant bekerjsama meneruskan perjuangan Thomas Aquinas yang pernah melakukannya. Kant sendiri semula berpegang teguh kepada rasionalisme, karena beliau yaitu orang Jerman yang semula memegang teguh wacana pedoman rasionalisme. Namun ia juga tertarik wacana empirisme yang dikembangkan oleh David Hume seorang filosof Inggris. Dan semenjak itulah kant merasa bahwa rasionalisme dan empirisme dapat digabungkan dan merupakan sebuah episode yang dapat melengkapi satu sama lain.
Immanuel Kant mengkritik empirisme, ia berpendapat bahwa empirisme harus dilandasi dengan teori-teori dari rasionalisme sebelum dianggap sah melalui proses epistomologi, itu merupakan penjelasan melalui bukunya yang berjudul critique of pure reason (kritik atas rasio murni), selain karyanya tersebut Immanuel Kant juga menulis buku yang menyatakan filsafat kritisisme yaitu yaitu kritik atas rasio praktis (etika) yang terakhir yaitu kritik atas pertimbangan (judgment).
Anggapan Kant wacana empirisme, bahwa empirisme (pengalaman) itu bersifat relatif tanpa adanya landasan teori. Konsekuensi dari “ kritik atas rasio murni “ dan kritik atas rasio praktis” menimbulkan adanya dua daerah yang tersendiri, yaitu daerah keperluan mutlak di bidang alam dan daerah kebebasan tingkah laku manusia. Sebuah ide bukanlah merupakan pengetahuan. Karena ide harus dikombinasikan dengan ide lain sehingga menjadi pertimbangan melalui subjek dan predikat.
Pertimbangan ada dua macam:
- Pertimbangan analitik, menganalisis suatu idea tanpa menambah sesuatu yang gres baginya.
- Pertimbangan sintetik, memperluas subjek dan menambah pengetahhuan baginya.
Tidak setiap pertimbangan secara pasti merupakan pengetahuan ilmiah. Suatu pertimbangan bagi pengetahuan ilmiah harus benar, menghasilkan kemestian dan universalitas. Suatu pertimbangan yang semata mata berdasarkan pada pengalaman, tidak dapat merupakan pengetahuan ilmiah, ini yaitu pertimbangan a posteriori. Untuk menjadi ilmiah, suatu pertimbangan harus mendasarkan pada dasar rasional, berakar pada kecerdikan (maupun pengamatan), pertimbangan ini harus a priori. Dengan demikian, pengetahuan yaitu pertimbangan sintetik yang a priori. Bagaiman dapat membentuk pertimbangan sintetik a priori. Jika indra memberiakn materi bahan bagi suatu pertimbangan dank al bekerja, maka mungkin ada pengetahuan. Dengan demikian, pengetahuan merupakan kemampuan yang sensory, yang member materi bahan bagi pengetahuan dan intellect (concept), yang membentuk materi bagi pengetahuan.
Kritik Atas Akal Praktis
Karya pertama Kant yaitu kritik atas rasio murni (yang menurut Scopenhauer merupakan buku terpenting yang pernah ditulis di Eropa). Dalam buku ini Kant melaksanakan revolusi kopernikan dalam bidang filsafat, sebagaimana Copernicus menjatuhkan gambaran dunia tradisional dengan mempermaklumkan bahwa bukan matahari yang mengitari bumi, akan tetapi bumilah yang mengitari matahari.
Salah satu kesimpulan dari revolusi itu yaitu bahwa menurut Kant pengetahuan dalam arti yang sesungguhnya hanya mungkin dalam bidang indrawi. Ini karena hanya dalam bidang itu ada kaitannya dengan relitas sendiri meskipun hanya dalam bentuk yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa apriori pengertian kita.
Kritik atas kecerdikan murni menghasilkan skeptisisme yang beralasan. Kehendak bukannya kecerdikan yang membentuk dasar bagi kemampuan kita dan benda-benda. Tuhan yang sesungguhnya yaitu kemerdekaan dalam pengabdian pada yang di cita-citakan. Akal praktis yaitu berkuasa dan lebih tinggi dari pada kecerdikan teoritis. Agama dalam ikatan kecerdikan terdiri dari moralitas. Kristianitas yaitu moralitas yang abadi.
Kritik atas pertimbangan
Kritik atas pertimbangan menghubungkan diantara kehendak dan pemahaman. Kehendak cenderung menuju yang baik, kebenaran yaitu objek dari pemahaman. Pertimbangan yang terlibat terletak diantara yang benar dan yang baik.
Estetika yaitu cirinya tidak teoritis maupun praktis, ini yaitu gejala yang ada pada dasar subjektif. Teologi yaitu teori wacana fenomena, ini yaitu bertujuan: (a) subjektif (menciptakan kesenangan dan keselarasan) dan (b) objektif (menciptakan yang cocok melalui akibat-akibat dari pengalaman).
Kritik Atas Etika
Pandangan Kant wacana etika yakni Kant sepakat dengan anggapan paling dasar kebanyakan aliran etika normative kontemporer, ia menolak Relativisme, Skeptisisme, dan Domatisme dalam Etika, ia berpendapat bahwa penilaian dan tindakan moral bukan urusan perasaan pribadi (moral sentimen) atu keputusan sewenag-wenang (decisionism) dan bukan persoalan asal ajakan social-kultural, sopan santun, atau adat istiadat (Relativisme kultural). Ia berpendapat bahwa tindakan insan dibawah ketertarikan moral mutlak dan dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh orang lain.
Etika Kant tentu saja tidak tanpa problematika. Friedrich Scheler dan Benjamin Constant menuduh Kant bhwa ia telah jatuh kedalam RIGORISME, hegel mengkritik bahwa kant melepaskan moralitas dari lingkungan social, scheler dan Nicolai Hartmann menolak FORMALISME-nya dan Scheler juga menuduh bahwa etika Kant merupakan Gesinnungsethik yang hanya memperhatikan sikap batin dan melalaikan pelaksanaan. Etika kewajiban Kant juga dianggap biang keladi “ketaatan Prussia” yang menjadi ciri khas angkatan bersenjata dan korps pegawai negeri Prussia.
Dalam kritiknya antara lain Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan yaitu bersifat umum, mutlak dan pengertian baru. Untuk itu ia membedakan tiga aspek putusan. Pertama, putusan analitis a priori, dimana predikat tidak menambah sesuatu yang gres pada subyek, karena termasuk didalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang). Kedua putusan sintesis aposteriori, misalnya pernyataan misalnya meja itu bagus disini predikat dihubungkan dengan subyek berdasakan pengalaman indrawi. Ketiga , putusan sintesis apriori, dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan kendati bersifat sintesis, tetapi bersifat apriori juga, misalnya, putusan yang berbunyi segala kejadian mempunyai sebab.
Kaidah moral yaitu imperative kategoris. Akidah ini memerintah tanpa syarat, kategoris. Kaidah ini merupakan asas fundamental. Berindaklah selalu sehingga kau dapat menjadi dalil atau asa yang dapat menentukan dari tindakanmu untuk menjadi kaidah universal (suatu patokan a priori dan bukan hasil dari pengalaman). Ini yaitu tes yang sesungguhnya wacana apa yang benar dan salah. Ini memerintah pertimbangan-pertimbanagan moral.
Pendekatan Kepada Etika
Kekacauaan di zaman kita sekarang ini telah ditambah oleh tiga aspek pendekatan yang berbeda beda kepada problema moralitas. Pertama yaitu kecondongan lama yang mendorong insan untuk berpegang kepada kepercayaan atau tindakan yang biasa diketahui, dan menguatkan kecenderungan itu dengan suatu kepercayaan kepada kekuasaan yang mutlak. Pendekatan kedua yaitu anggapan bahwa moralitas itu bersifat relative sepenuhnya dan tidak dapat ukuran moral, mereka itu disebut dengan relativis dan menganggap bahwa moralitas yaitu soal pendapat pribadi, atau kelompok.
Kesimpulan
Filsafat Immanuel Kant yakni kritisisme yaitu penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yakni Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan empirisme yang dipelopori oleh David Hume. Kant mempunyai tiga karya yang sangat penting yakni kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, kritik atas pertimbangan. Ketiga karyanya inilah yang sangat mensugesti pemikiran filosof sesudahnya, yang mau tak mau menggunakan pemikiran kant. Karena pemikiran kritisisme mengandung patokan-patokan berfikir yang rasional dan empiris.
Kant mengatakan bahwa pengalaman kita berada dalam bentuk-bentuk yang ditentukan oleh perangkat indrawi kita, maka hanya dalam bentuk-bentuk itulah kita menggambarkan eksitensi segala hal, kelemahan dari pendapatnya ini bahwa pengalaman ditentukan oleh perangkat indrawi, dari pernyataan ini kant mengabaikan pengalaman yang timbul dari luar indrawi, yakni misalkan metafisika, psykologi, karena pengalaman ini tidak bersifat indrawi, secara tidak eksklusif kant menentang pengalaman yang tidak indrawi atau metafisik. Sehingga seseorang tidak dapat menggambarkan keberadaan sesuatu.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Lorenz. 2005. Kamus Filsafat. Cetakan keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Bertens, K. 2005. Panorama Filsafat Modern. Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Mizan republika
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Jakarta: Kanisius
Magee, Bryan, 2001, The Story of Phylosopy, Yogyakarta: kanisius
Mudhofir, Ali. 2001. Kamus Filsafat Barat, cetakan 1, Yogyakarta: pustaka pelajar
Muslih, Mohammad. 2008. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Pradigma dan Kerangka Teori Ilmu pengetahuan, cetakan kelima. Yogyakarta: Belukar
Suseno, franz magnis. ,”Pustaka filsafat 13 Tokoh etika, semenjak zaman rohani hingga kala ke-19”. Jakarta: kanisius
Titus, Harold, DKK. 1984. Persoalan-Persoalan Filsafat. Cetakan Pertama, Jakarta: PT. Bulan Bintang
Poejawijatna, R.I. Prof. 1983. Pembimbing Kearah Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta.
Syadali, Ahmad. H. Drs, et. At. 1997, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia.
achmadi Asmoro. 1995, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Peursen Van c.a. 1997, Orientasi Dalam Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia
Tag :
Filsafat
0 Komentar untuk "SangGuru Kritisisme Terhadap Pandangan Filsafat Immanuel Kant"