Artikel Dunia Pendidikan

Bocah Malang Di Penghujung Demam Isu Rambutan

Bocah malang di penghujung demam isu rambutan – Hujan yang turun di sore itu tidak menyurutkan tekad bocah-bocah bertelanjang dada dalam menjuluk buah rambutan di pohonnya. Alat penjuluk yang mereka gunakan apa adanya. Kayu atau apa saja yang sanggup mereka jadikan untuk menurunkan buah rambutan di penghujung musimnya.


Bocah malang di penghujung demam isu rambutan Bocah Malang di Penghujung Musim Rambutan
Ilustrasi rambutan di penghujung musimnya (foto:matrapendidikan.com)

Buah rambutan itu tidak berapa biji lagi yang tersisa alasannya sudah dipanen pemiliknya. Kalau pun ada yang tertinggal, itupun sudah tidak manis alasannya sudah kelewat matang di tangkainya. Ada juga buah rambutan yang masih terlihat muda dengan kulit berwarna hijau dan buah gepeng sekalipun, tak luput dari target kayu penjuluk para bocah di tengah turunnya hujan.

Marjohan rahasia mengamati semua itu dari balik jendela kamarnya yang tidak begitu jauh dari pohon rambutan yang diserbu bocah-bocah malang itu. Ia sengaja tidak menasehati apalagi menegur bocah pria dan wanita itu.

Pemandangan yang disaksikannya ketika ini  menjadi momen menarik untuk dipelajarinya. Marjohan pernah mendengar jikalau orang, apalagi bocah-bocah, begitu ngiler ketika melihat buah rambutan.  Bahkan yang separuh masak pun sudah menjadikan impian untuk mengambil dan memakannya.

Buktinya di ketika hujan pun para bocah itu masih berselera untuk mengambil rambutan dan memakannya.

Memang, Marjohan mengetahui keadaan orangtua para bocah yang terdiri dari pria dan perempuan, yang tengah berjuang menjuluk buah rambutan di tengah hujan itu. Orangtua mereka bukanlah orang yang tak punya uang, apalagi hanya untuk membeli beberapa kiloan buah rambutan yang manis untuk anaknya.

Di sisi lain Marjohan memang memahami jikalau bocah-bocah itu termasuk malang. Kurang menerima perhatian dari para orangtuanya alasannya terlalu sibuk menjalani kehidupan. Ada juga di antara mereka dari keluarga yang tidak utuh lagi. Orangtua mereka berpisah dan sang ibu menikah lagi sehingga sudah harus hidup bersama ayah tiri ketika mereka masih bocah....

“Hei bro…!!! Lagi memerhatikan apa, tuh?” tanya Junai tiba-tiba muncul dalam kamar kos mereka. Namun Marjohan tidak menyahut. Perhatiannya terus tertuju pada bocah malang berjuang menurunkan buah rambutan di tengah hujan yang tak lagi terlalu deras.

Junaid mengangguk-angguk, sehabis mengetahui apa yang menjadi buah perhatian sahabatnya itu. Lalu Junaid ikut mengamati para bocah yang mengambil buah rambutan dengan penjuluk apa adanya.

“Kenapa mereka tidak dinasehati, atau ditegur, bro…. Kasihan mereka, sanggup sakit hujan-hujan begini mengambil buah rambutan?” tanya Junaid kemudian.

“Rumit Bro..” sahut Marjohan tanpa menoleh.

“Rumit gmana, bro?”

Marjohan menoleh ke arah Junaid. Ia sekarang duduk di pinggiran kawasan tidur.

“Di kampung ini serba rumit untuk menegur apalagi memarahi anak orang, meskipun itu demi kebaikannya. Kalau sempat ditegur, apalagi dimarahi, malah kita yang bakal dimarahi oleh orangtua mereka. Orangtuanya sanggup salah paham. Celakanya, orangtua mereka begitu gampang percaya kepada anaknya ketimbang orang lain yang menegur atau memarahai anaknya.” terang Marjohan.

Junaid yang barusan kos di kawasan itu mengangguk paham.

“Kalau ada apa-apanya dengan bocah-bocah itu ketika menjuluk buah rambutan di tengah hujan ini,  baru diberitahu orangtuanya. Itu sudah bagus,”

Lagi-lagi Junaid mengangguk.

“Kamu sudah makan, bro?” tanya Junaid kemudian mengalihkan perhatian Marjohan.

“Belum. Tapi saya memang sudah lapar, bro,” balas Marjohan.

Dua akrab itu beranjak menuju ruang makan di dapur rumah kos yang mereka tempati itu.

Belum beberapa suap nasi masuk ke verbal mereka,  terdengar bunyi bocah menjerit dan menangis kesakitan.

Marjohan dan Junaid terdiam.

“Barangkali bocah itu ada yang memanjat pohon rambutan dan terjatuh,” gumam Junaid.

Hujan maish belum reda. Namun jeritan tangis sang bocah terdengar semakin jelas. Marjohan dan Junai menutup piring nasi dan bergegas menuju halaman rumah kosnya.

“Kamu kenapa, dek?” tanya Junaid kepada bocah yang mengerang kesakitan.

“Digigit ngengat, om…” pintas temannya.

“Antarkan sahabat kalian ini ke rumahnya. Bahaya tuh,” ujar Marjohan.

Bocah-bocah malang itu jadinya bubar dengan membawa temannya yang disengat binatang penggigit yang bersarang di pohon rambutan di depan rumah kos itu.

“Nah, jikalau sudh ibarat itu gres orangtua mereka percaya, percaya anaknya digigit ngengat alasannya mengambil buah rambutan orang lain” ujar Marjohan.

“Tapi kasihan juga ya?”

“Ah, sudahlah…Mari dilanjutkan makan siangnya!” ujara Marjohan mengingatkan.

Tag : Cerpen
0 Komentar untuk "Bocah Malang Di Penghujung Demam Isu Rambutan"

Back To Top